Perenungan

Ramadhan Tak Berakhir, Karena Hadirnya Sepanjang Zaman

“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Demikian sebuah hadist Rasulullah Muhammad s.a.w tentang akhir bulan ramadhan. Para malaikat bersedih akan berlalunya Ramadhan, kita yang manusia biasa  — bisa jadi ada yang bersedih, ada juga yang gembira, asalkan itu semua jangan dibuat – buat seolah – olah bersedih padahal dalam hatinya gembira, karena tidak ada wajib puasa lagi. Toh gembira karena Ramadhan akan berakhir bukan suatu hal yang berdosa.

Secara manusiawi kita menyenangi makan dan minum. Pada dasarnya, kita tidak suka dan tidak betah untuk lapar dan haus. Dan justru disitulah nilai kemuliaannya,  bukankah suatu hal yang istimewa jika kita tidak menyukai suatu hal namun kita berhasil melakukannya dengan ikhlas karena Allah yang memerintahkan sesuatu itu?

Melakukan sesuatu yang tidak disukai membutuhkan perjuangan yang lebih ekstra dibanding melakukan sesuatu yang secara alami kita gemari. Jadi memang tidak mengapa kita tidak suka berpuasa, dan itu adalah fitrah manusia, dan disitulah nilai kemuliaanya dimana puasa membuat kita bermental berjuang

Ramadhan Sepanjang Tahun

Saya meyakini bulan Ramadhan itu secara administratif teknis memang sepanjang satu bulan, namun hakikat ramadhan itu ada sepanjang tahun. Sebagaimana halnya ketika kita menyebut Ka’bah itu sebagai baitullah (rumah Allah), memang Ka’bah itu baitullah, namun jengkal bumi ciptaan Allah mana yang bukan merupakan baitullah?

Begitupun dengan ibadah “puasa” tidak semata berlangsung di satu bulan Ramadhan, karena yang namanya berpuasa itu adalah seumur hidupmu. Puasa yang berarti “menahan diri” adalah peradaban tertinggi manusia. Semua masalah di dunia ini — mulai dari peristiwa turunnya Adam dari surga hingga konflik teluk timur tengah, hingga kejadian aktual sekarang ini dari kecil dan besar — semua bermuara pada satu permasalahan, yakni mereka tidak sanggup untuk  “menahan diri” (berpuasa), sehingga disebut oleh Allah sebagai kaum yang melampaui batas. Karena itulah puasa sebagai bentuk peradaban manusia, agar mereka tahu dan mengenal dimana sesungguhnya batasnya.

Rasulullah mengajarkan untuk berhenti makan sebelum kenyang, itu juga salah satu bentuk puasa. Kita bisa membeli makan makanan mewah, namun kita berpuasa dengan membeli makanan yang sederhana, itu juga puasa namanya. Kita bisa berpuasa untuk tidak membalas kejahatan orang lain, meskipun kita punya kuasa untuk membalasnya. Kita bisa juga  berpuasa untuk memberikan makanan kepada orang yg lebih lapar, meskipun kita juga kelaparan, makanan itu jika kita proyeksikan dalam kehidupan sehari – hari bisa berupa kursi jabatan, kesempatan ekonomi, uang sejuta rupiah dan lain sebagainya.

Kita bisa menjalani puasa yang lebih kontekstual misalnya, yaitu dengan  tidak ikut-ikutan “mencuri” di kantor, bagaimana kita membatasi diri dari nafsu ingin membeli hal – hal yang kurang bermanfaat, bagaimana kita melakukan hal – hal yang paling islami saja di antara seribu kemungkinan di hadapan mata kita

Kita hidup dalam suatu tatanan sosial dan ekonomi yang penuh riba, penuh perampokan secara sistemik dan otomatis, maka bagaimana kita berpuasa untuk tidak terlibat di dalamnya, atau paling tidak, kita membatasi keterlibatan kita seminimal mungkin. Inilah puasa yang sesungguhnya. Dan itu lebih berat. Dan itu harus kita lakukan sepanjang hari, sepanjang bulan, dan sepanjang tahun, tak hanya pada bulan ramadhan.

Hilangnya Kesadaran Ramadhan

Jadi apa yang arti hadist  tentang akhir ramadhan di muka tulisan ini? Ada dua arti, yang pertama, bisa jadi yang ditangisi mereka secara harfiah memang Ramadhan dalam artian literer satu bulan ini. Sedangkan arti yang kedua, yang dimaksud bulan Ramadhan adalah “ruh” dan nilai, sehingga yang ditangisi para malaikat adalah hilangnya ruh dan kesadaran Ramadhan pada diri manusia. Dimana manusia lebih gemar melampiaskan nafsunya ketimbang berpuasa, sehingga kemudian disebut oleh Allah sebagai umat yang melampaui batas.

Jadi menurut pendapat kedua ini, ruh dan kesadaraan Ramadhan bisa saja hilang, meskipun itu di bulan ramadhan sendiri, bukankah kebudayaan kita sudah sedemikian konsumtifnya, sehingga budaya kita adalah budaya pelampiasan dan bukannya budaya menahan diri? Bukankah di zaman moderen ini, orang – orang telah diseret oleh sebuah sistem yang sedemikian rupa membuatnya untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan? Orang – orang didorong dan dipaksa secara kultur dengan dahsyat untuk memiliki apa- apa yang sesungguhnya tidak — atau setidaknya belum merupakan kebutuhan dasar yang berasal dari dirinya sendiri. Mereka dicetak dan dididik untuk merasa minder dan rendah jika tidak memakai pakaian model itu atau komestika model ini.

Jikalau begitu apa yang harus kita lakukan? Tidak ada pilihan lain selain menghadirkan Ramadhan kembali di kehidupan ini, sehingga di bulan syawal — sebagaimana dari segi bahasa yang berarti peningkatan– kita hadirkan puasa – puasa yang lebih meningkat taraf dan konteksnya untuk kehidupan sehari – hari, dan dengan itu kita temui idul fitri – idul fitri kecil dan besar  di dalam batin sanubari kita semua.

Tagged ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.