Takbir berkumandang bersahutan memenuhi langit malam ini. Sebagai tanda masuknya bulan syawal. Dan berakhirnya Bulan Ramadhan. Orang – orang berpawai, berkendaraan, tumpah ruah di jalanan, merayakan sebuah kemenangan. Sementara saya masih menyepi di kamar sendiri, merenungi, tentang satu bulan puasa yang telah dilakoni. Apakah saya termasuk golongan orang – orang yang disebutkan nabi sebagai
Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.
Ramadhan adalah madrasah. Laksana kawah candra dimuka, atau pelatihan khusus. Maka berguna atau tidaknya pelatihan yang diterima dari madrasah dapat dilihat ketika di luar madrasah, apakah pelatihan itu tersebut bisa diimplementasikan atau tidak di luar.
Sudah berapa kali Ramadhan datang, tak meningkat pula penghayatan puasa kita, Untuk sekedar tidak makan, tidak minum seharian saja. Lantas kita lampiaskan saat maghrib tiba. Padahal Nabi sendiri mengajarkan,
berhentilah makan sebelum kenyang.
Lantas apa gunanya tadi lapar seharian? Jika saat magrib tiba tidak bisa kita kendalikan nafsu. Makan sebanyak – banyaknya. Pun, saat ramadhan hampir usai, kita gemar sekali menuliskan ungkapan dusta, bahwa kita sedih akan ramadhan yang akan berlalu.
Kita kurang mau jujur terhadap diri kita sendiri bahwasannya kita tidak suka puasa. Kita tidak suka menahan lapar, menahan haus, menahan semua nafsu jasadiyah kita. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang memiliki kecenderungan untuk menuruti syahwatnya. Atas asumsi dasar kita tidak suka puasa itulah, maka Allah mewajibkannya. Karena dari situ manusia dilatih bahwa pertimbangan utama hidup bukanlah suka atau tidak suka. Tapi apakah itu baik atau tidak
Pada dasarnya kita adalah makhluk yang egois, dan lebih suka mementingkan nasibnya sendiri dibandingkan dengan menolong orang lain yang menderita dan membela orang yang tertindas. Kewajiban – kewajiban sosial seperti itu hanya bisa kita lakukan jika kita berhasil ‘berpuasa’ dan berhenti menuruti kesenangan – kesenangan. Karena Allah menginginkan kita menjadi khalifah,yang lebih besar daripada kesenangan – kesenangan kita. Mampu untuk betah lapar dan haus. mampu mengorbankan kesenangannya demi sesuatu yang lebih sejati dan tinggi nilainya.
Junjungan kita Rasulullah bersabda,
“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Saya pribadi, mentadaburri, bahwa yang dimaksud Nabi adalah malaikat sedang menangisi hilangnya ruh dan kesadaran Ramadhan pada diri manusia. Dimana manusia lebih gemar melampiaskan nafsunya ketimbang berpuasa, sehingga kemudian disebut oleh Allah sebagai umat yang melampaui batas.
Kesadaran Ramadhan telah hilang, meski itu di bulan ramadhan sendiri. Bagaimana tidak, Bagi Rasulullah Ramadhan adalah hari-hari penuh kesederhanaan, keheningan dan perenungan.Namun kita, umatnya malah menjadikannya festival yang begitu riuh.
Padahal, Allah memerintahkan kita berpuasa sebulan di bulan Ramadhan, – menurut saya – agar Ramadhan menyublim dan meresap menjadi detak jantung, dan nafas diri kita. Maka Ramadhan tidak akan kemana – mana.
Memang, awalnya kita memasukin bulan Ramadhan, namun jika kita lulus, Ramadhan-lah yang memasuki kita. Sehingga Kesadaran yang kita jalani setiap hari, menit, detik, siang ataupun malam, adalah kesadaran Ramadhan. Kesadaran menahan diri. Pantaslah kemudian kita memasuki bulan syawal, yang berarti peningkatan.
Semoga